KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT
yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur
atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini agar lebih baik lagi.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Ponorogo, 10 Janauari 2018
kelompok 2
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini agar lebih baik lagi.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Ponorogo, 10 Janauari 2018
kelompok 2
Pembahasan pancasila Secara Ilmiah
Sebagai suatu
kajian ilmiah harus memenuhi syarat ilmiah yaitu dengan metode analisis-abstraksi
sistesis. Sistem pengetahuan ilmiah itu bertingkat-tingkat sebagaimana
dikemukakan oleh I.r Poedjowijatno dalam bukunya: “Tahu dan Pengetahuan”. Sebagai
berikut :
1. Berobyek
Syarat suatu
pengetahuan ilmiah, bahwa ilmu pengetahuan itu herus memiliki obyek. Di dalam
filsafat ilmu pengetahuan dibedakan atas dua macam
obyek yaitu “obyek formal” dan “obyek materia”.
obyek yaitu “obyek formal” dan “obyek materia”.
Obyek formal,
pancasila yang dalam arti formal yaitu Pancasila dalam rumusan yang sudah
tertentu bunyinya dan berkedudukan hukum sebagai dasar
filsafat Negara.
filsafat Negara.
Obyek
materia, pancasila adalah suatu obyek yang merupakan sasaran pembahasan dan
pengkajian, baik bersifat empiris maupun non-empiris.
Obyek materia
pembahasan, adalah pandangan hidup bangsa yang sudah lama diamalkan dalam segala
aspek, adat dan kebudayaan, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Selain itu obyek materia pembahasan Pancasila berupa: lembaran Negara, lembaran
hukum maupun naskah-naskah resmi kenegaraan yang mempunyai sifat imperatif
yuridis.
Adapun obyek
yang bersifat non-emperis meliputi: nilai moral, serta nilai-nilai religius
yang tercermin dalam kepribadian, sifat, karakter dan pola-pola budaya dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Bermetode
Salah satu
metode dalam pembahasan Pancasila adalah metode “analitico syntetic” yaitu
suatu perpaduan metode analitis dan sintesis. Dikarenakan obyek Pancasila
banyak berkaitan dengan hasil-hasil budaya dan obyek sejarah, maka lazim digunakan
metode “hermeneutika” yaitu suatu metode untuk menemukan makna dibalik obyek.
Demikian juga
metode “koherensi historis”, serta metode “pemahaman, penafsiran dan
interpretasi”, metode-metode tersebut senantiasa didasarkan atas
hukum-hukum logika dalam suatu penarikan kesimpulan terhadap: UUD 1945,
TAP MPR, Perundang-undangan, serta fakta-fakta historis yang telah
diakui kebenarannya, diteliti dengan menggunakan metode dan teknik yang
bersifat ilmiah agar dapat dipahami obyek secara lebih berhasil,
sehingga diperoleh pengetahuan yang benar mengenai obyek itu.
hukum-hukum logika dalam suatu penarikan kesimpulan terhadap: UUD 1945,
TAP MPR, Perundang-undangan, serta fakta-fakta historis yang telah
diakui kebenarannya, diteliti dengan menggunakan metode dan teknik yang
bersifat ilmiah agar dapat dipahami obyek secara lebih berhasil,
sehingga diperoleh pengetahuan yang benar mengenai obyek itu.
3. Bersistem
Pengetahuan
ilmiah harus merupakan suatu kesatuan, artinya keseluruhan proses dan hasil
berpikir disusun dalam satu kesatuan yang bulat. Saling berhubungan sehingga
diperoleh kesatuan yang organis, harmonis, dan dinamis.
Pembahasan Pancasila sebagaimana
yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 secara ilmiah, harus merupakan suatu
kesatuan dan keutuhan.
4. Bersifat Universal
Kebenaran
pengetahuan ilmiah harus bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu,
situasi, maupun jumlah tertentu. Kajian hakikat pada nilai-nilai Pancasila
bersifat universal, dengan kata lain bahwa inti sari, essensi atau makna yang
terdalam dari sila-sila Pancasila adalah bersifat universal yang mendukung kebenaran
atas kesimpulan dan pertanyaan.
Tingkatan Pengetahuan Ilmiah
Tingkatan ilmiah dalam masalah
ini lebih menekankan pada karakteristik pengetahuan. Sehingga sangat ditentukan
oleh macam pertanyaan, sbb:
1. Pengetahuan deskriptif : Suatu pertanyaan “bagaimana”
Mengkaji Pancasila secara obyektif, harus
menerangkan dan menjelaskan serta menguraikan Pancasila secara obyektif sesuai
dengan kenyataan Pancasila
itu sendiri sebagai hasil budaya bangsa Indonesia.
itu sendiri sebagai hasil budaya bangsa Indonesia.
2. Pengetahuan kausal : Suatu pertanyaan “mengapa”
Kaitan dengan kajian tentang Pancasila, maka
tingkat pengetahuan sebab-akibat akan berkaitan dengan kajian proses kausalitas
terjadinya Pancasila,
meliputi empat
kausa: kausal matrialis, kausa formatis, kausa effisien dan kausa
finalis.
meliputi empat
kausa: kausal matrialis, kausa formatis, kausa effisien dan kausa
finalis.
3. Pengetahuan normatif
Dengan kajian normatif, dapat
membedakan secara normatif realisasi atau pengamalan. Pancasila yang seharusnya
dilakukan. Realisasi Pancasila dalam kenyataan faktual yaitu Pancasila yang
senantiasa berkaitan dengan dinamika kehidupan serta perkembangan zaman.
4. Pengetahuan essensial:
Kajian Pancasila secara
essensial pada hakikatnya untuk mendapatkan suatu pengetahuan tentang inti sari
atau makna yang terdalam dari sila-sila Pancasila.
Lingkup
pembahasan pancasila yuridis kenegaraan
Panacasila
sebagai objek pembahasan ilmiah yang memililki ruang lingkup yang sangat luas.
Pancasila dibahas dari sudut pandang moral atau etika maka lingkup pembahasan
nya meliputi ‘etika pancasila’ dibahas dari sudut ekonomi kita dapatkan bidang
‘ekonomi pancasila’, dari sudut pandang nilai ‘askologi pancasila’, adapun
bilamana pancasila dibahas dari sudut pandang epistimologi, epistimologi
pancasila dari sudut pandang ‘filsafat pancasila’ dari sudut pandang yuridis
kenegaraan maka kita dapatkan bidang ‘pancasila yuridis kenegaraan’. Meliputi
pembahasan pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar nregara republik
Indonesia, sehingga meliputi pembahasan bidang yuridis ketatakenegaraan,
reallisasi oancasila dalam segala aspek penyelengaraan negara secara resmi baik
yang menyangkut norma hukum maupun moral dalam kaitannya dengan segala aspek penyelenggaraan
negara.
Tingkatan pengetahuan ilmiah dalam
pembahasan pancasila yuridis kenegaraan adalah meliputi tingkatan pengetahuan
deskriptif, kausal dan normatif. Adapun tingkatan pengetahuan ilmiah esensial
dibahas dalambidang filasafat pncasila, yaitu mmbahas sila-sila pancasila
sampai tingkat hakikatnya.
-
Beberapa
pengertian pancasila
Kedudukan Pancasila bila dikaji secara ilmiah memiliki
pengertian-pengertian yang luas, baik dalam kedudukannya sebagai dasar negara,
sebagai pandangan hidup bangsa, sebagai ideologi bangsa dan negara, maupun
sebagai kepribadian bangsa. Bahkan dalam proses terjadinya terdapat berbagai
macam terminologi yang bisa dideskripsikan secara objektif.
Oleh karena
itu, untuk memahami Pancasila secara kronologis, baik menyangkut rumusannya
maupun peristilahannya, kita perlu memahami pengertian Pancasila tersebut
dengan meliputi lingkup pengertian sebagai berikut :
a.
Pengertian
pancasila secara etimologis
b.
Pengertian
pancasila secara historis
c.
Pengertian
pancasila secara terminologis
1.
Pengertian
pancasila secara etimologis
Sebelum membahas isi arti dan fungsi
pancasila sebagai dasar negara maka terlebih dahulu perlu dibahas asal kata dan
istilah “panasila” besera mana yang terkandung didalamnya.
Secara etimologis istilah
“Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana).
Bahasa rakyat biasa disebut dengan bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin,
dalam bahasa Sansekerta, perkataan “Pancasila” memiliki dua macam arti secara
leksikal yaitu :
“panca” artinya “lima”
“syila” (vokal i pendek) artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
“syiila” (vokal i panjang) artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.
“syila” (vokal i pendek) artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
“syiila” (vokal i panjang) artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh”.
Dalam bahasa Indonesia, terutama bahasa Jawa, kata-kata tersebut
diartikan “susila” yang sangat berkaitan dengan moralitas. Oleh karena itu
secara etimologis kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah istilah “Panca
Syila” (dengan vokal i pendek) yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi
lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”. Adapun istilah
“Panca Syiila” (dengan vokal i panjang) bermakna lima aturan tingkah laku yang
penting. (Yamin; 1960: 437)
Perkataan
pancasila mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India dalam kitab Suci Tri Pitaka yang terdiri dari 3 macam buku besar: Suttha
Pitaka, Abhidama Pitaka dan Vinaya Pitaka. Dalam ajaran budha terdapat ajaran
moral untuk mencapai Nirwana dengan melalui samadhi, dan setiap golongan
berbeda kwajiban moralnya. Ajaran-ajaran moral tersebut adalah sebagai berikut.
Dasasyiila, saptasyiila, pancasyiila.
Dalam agama Budha,
ajaran Pancasila merupakan lima aturan (larangan) atau five moral principles
yang berisi lima larangan atau lima pantangan. Secara lengkap isi Pancasila
yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Panati pada veramani sikhapadam samadiyani, artinya ”Jangan
mencabut nyawa makhluk hidup,” maksudnya: dilarang membunuh.
2. Dinna dana veramani shikapadam samadiyani, artinya ”Jangan
mengambil barang yang tidak diberikan,” maksudnya: dilarang mencuri.
3. Kemashu micchacara veramani shikapadam samadiyani, artinya ”Jangan
berhubungan kelamin,” maksudnya: dilarang berzina.
4. Musawada veramani sikapadam samadiyani, artinya ”Jangan berkata
palsu,” maksudnya: dilarang berdusta.
5. Surameraya masjja pamada tikana veramani, artinya ”Jangan meminum
minuman yang menghilangkan pikiran,” maksudnya: dilarang minum minuman keras.
(Zainal Abidin, 1958: 361)
Dengan masuknya kebudayaan India ke Indonesia melalui penyebaran
agama hindu dan budha, maka ajaran “pancasila” budhismepun masuk kedalam
kepustakaan Jawa, terutama pada jaman majapahit. Perkataan “pancasila” khasanah
kesusastraan nenek moyang kita dijaman keemasan keprabuan majapahit dibawah
raja hayam wuruk dan Maha Patih Gadjah Mada, dapat ditemukan dalam keropak
Negara Kertagama berupa kakawin (syair pujian) dalam pujangga istana bernama
Empu Prapanca pada tahun 1365. Di dalamnya kita akan menemukan istilah ini
dalam surga 53 bait ke-2 yang berbunyi sebagai berikut :
“yatnaggegwani
pancasyiila ketasangkarbgisekaka karma”
yang artinya Raja menjalankan dengan setia kelima pantangan (pancasila)
begitu pula upacara ibadat dan pengobatan-pengobatan.
begitu pula upacara ibadat dan pengobatan-pengobatan.
Setelah Majapahit
runtuh dan agama Islam mulai tersebar ke seluruh Indonesia maka sisa-sisa
pengaruh ajaran moral Budha (Pancasila) masih dikenal dalam masyarakat Jawa
yang disebut dengan lima larangan atau pantangan moralitas sebagai berikut:
1.
Mateni
artinya membunuh
2.
Maling
artinya mencuri
3.
Madon
artinya berzina
4.
Mabok
artinya meminum minuman keras atau menghisap candu
5.
Main
artinya berjudi
Pengertian Pancasila secara Historis
Proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang
BPUPKI pertama dr. Radjiman Widyodiningrat, mengajukan suatu masalah, khususnya
akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah tersebut adalah tentang suatu calon
rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Kemudian tampilah pada
sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu Mohammad Yamin, Soepomo dan
Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam siding tersebut Ir.
Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar
negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima
dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya yaitu
seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, kemudian keesokan harinya tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya
Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat
isi rumusan lima prinsip atau lima prinsip sebagai satu dasar negara yang
diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa
Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD
1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara
Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini
didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon
rumusan dasar negara, yang secara spontan diterima oleh peserta sidang secara
bulat.
Demikianlah riwayat singkat pancasila baik dari segi
istilahnya maupun proses perumusannya, sampaimenjadi dasar negara yang sah
sebagai mana terdapat dalam pembukaan UUD 1945. Adapun secara terminologi
historis proses perumusan pancasila adalah sebagai berikut :
a.
Ir. Soekarno (1 Juni 1945).
Pada tanggal 1 Juni 1945, di dalam sidang tersebut Ir.
Soekarno pun berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar
negara Indonesia. Dalam pidatonya, Soekarno mengajukan nama “Pancasila” (yang
artinya lima dasar) sebagai dasar kenegaraan. Dalam pengakuannya, istilah ini
ia peroles dari salah seorang temannya yaitu seorang ahli bahasa yang tidak
disebutkan namanya. Kelima asas dasar negara Indonesia tersebut hádala sebagai
berikut.
1. Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi perwakilan
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan.
Dalam kesempatan itu, ia juga menawarkan penyusutan
Pancasila menjadi Trisila yang rinciannya adalah sebagai berikut.
1. Sosio Nasional yaitu “Nasionalisme dan
Internasionalisme”.
2. Sosio Demokrasi yaitu “Demokrasi dengan
kesejahteraan rakyat”
3. Ketuhanan Yang Maha Esa
Trisila ini bisa diperas lagi, menurut Soekarno,
menjadi “Eka Sila” atau satu sila yang intinya adalah “gotong-royong”. Tetapi
ia sangat cenderung pada Pancasila yang ia uraikan di awal pidatonya itu.
b.
Piagam Jakarta (22 Juni 1945)
Dalam beberapa persidangan BPUPKI belum dicapai suatu
kesepakatan yang utuh tentang rumusan Pancasila yang akan menjadi dasar
kenegaraan yang mengikat secara kontinyu. Akhirnya, BPUPKI menetapkan sembilan
orang tokoh untuk membuat kesepakatan sesuai dengan rancangan ideologi
masing-masing. Dalam sidang yang dilakukan Panitia Sembilan ini tercapailah
rumusan yang lebih dikenal dengan Piagam Jakarta. Isi rumusan Pancasila
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus
1945, Undang-Undang Dasar 1945 termasuk Pembukaannya disahkan. Di dalam UUD
1945 tersebut termuat isi rumusan lima prinsip sebagai satu dasar negara yang
diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa
Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD
1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara
Republik Indonesia sebagaimana isi pidato Ir. Soekarno dalam sidang pertama
BPUPKI adalah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis,
terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang secara
spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
Pengertian Pancasila secara Terminologis
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu
telah melahirkan negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan
negara sebagaimana lazimnya negara-negara yang merdeka, maka Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan sidang. Sidang tanggal 18
Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD Negara Republik Indonesia yang
dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 terdiri atas dua bagian yaitu:
Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi
37 pasal, 1 aturan Aturan Peralihan yang terdiri atas 4 pasal dan 1 Aturan
Tambahan terdiri atas 2 ayat.
Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia terdapat
pula rumusan-rumusan Pancasila sebagai berikut.
a. Dalam Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat)
Konstitusi ini berlaku tanggal 29 Desember 1949 s.d. 17
Agustus 1950. Di dalamnya tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan Sosial
b. Dalam UUD (undang-undang dasar sementara 1950)
Undang-Undang Dasar 1950, berlaku mulai tanggal 17
Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959, rumusan Pancasila yang tercantum dalam
konstitusi RIS adalah sebagai berikut.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan sosial.
Dalam bagian pembukaan UUD 1945 yang terdiri atas empat
alinea tersebut tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan¬/perwakilan
5. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara
Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat
Indonesia. Selain itu ada juga beberapa rumusan pengertian Pancasila dalam makna
yang umum, di antaranya adalah sebagai berikut.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia
Pancasila digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
aktivitas dan kehidupan di dalam segala bidang. Dengan kata lain semua tingkah
laku dan perbuatan setiap warga negara Indonesia harus sesuai dengan sila-sila
yang terdapat dalam Pancasila.
Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa
Pancasila sudah menjadi jiwa setiap rakyat Indonesia
dan telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia dalam sikap, tingkah laku, dan
perbuatan.
Pancasila sebagai dasar negara
Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan
negara atau dasar mengatur penyelenggaraan negara.
Menurut Prof. Dr. Notonegoro, SH, Pancasila merupakan
norma hukum pokok atau pokok kaidah fundamental dan memiliki kedudukan yang
tetap, kuat, dan tidak berubah. Pancasila juga memiliki kekuatan yang mengikat
secara hukum. Penegasannya tercantum dalam ketetapan-ketetapan sebagai berikut.
1. Pembukaan UUD 1945 alinea IV
2. Tap MPR No.XVII/MPR/1998
3. Tap MPR No.II/MPR/2000
Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia
Pancasila merupakan dasar filsafat negara dan ideologi
negara. Falsafah ini kemudian dipergunakan sebagai dasar untuk mengatur
pemerintahan dan mengatur penyelenggaraan negara.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
negara Indonesia
Fungsi Pancasila dapat dilihat secara yuridis
ketatanegaraan. Tap MPR No. III/MPR/2000 mengatur tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia
Pancasila disahkan bersama-sama dengan disahkannya UUD
1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. PPKI merupakan wakil rakyat
Indonesia pada masa itu yang mengesahkan perjanjian luhur tersebut.
Pancasila sebagai cita-cita bangsa Indonesia
Cita-cita luhur bangsa Indonesia tegas termuat dalam
Pembukaan UUD 1945 karena Pembukaan UUD 1945 merupakan perjuangan jiwa
proklamasi, yaitu jiwa Pancasila.
Dengan demikian Pancasila merupakan tujuan dan
cita-cita bangsa Indonesia.
Daftar pustaka :
Kaelan.2016.Pendidikan
Pancasila.Yogyakarta: Paradigma.
Yosanunsera.2014.”Beberapa
Pengertian Pancasila”,
Setyawan, Hendra.2010.”Pembahasan
Pancasila Secara Ilmiah”,